Sunday, 31 December 2017

peternakan tahun 2017 dan prediksi tahun 2018 (opini prof.Mulando)

    PAGI semuanya, selamat taun baru 2018 :v kali ini saya bakal posting tentang bisnis peternakan 2017 dan prediksi 2018 yang merupakan opini dari prof mulando, langsung saja baca artikelnya yang cukup panjang, tp jangan malas membaca yah, kerana salah satu budaya bangsa ini yang mulai hilang adalah budaya membaca, :D 
   program nasional di bidang peternakan dan kesehatan hewan yang terkait langsung dengan pembangunan binis dan industri peternakan secara umum ada 2 yaitu : Program pertama adalah Siwab (Sapi Indukan Wajib Bunting) dan program kedua adalah Awam (Ayam Wajib Mati). Dalam upaya meningkatkan populasi sapi pedaging di Indonesia, diperkirakan 3 juta ekor sapi indukan wajib bunting. Sebaliknya untuk ayam ras pedaging, diperkirakan 6 juta ekor DOC per minggu wajib mati dalam dua bulan ini (November dan Desember 2017) untuk mengurangi populasi ayam dewasa agar harganya terangkat naik.

Kedua program nasional tersebut memerlukan biaya tidak kecil. Untuk sapi, ada alokasi anggaran sekitar satu trilyun rupiah dari pemerintah. Sebaliknya untuk ayam, dengan asumsi harga Rp 4.000 per DOC perusahaan membuang aset senilai sekitar Rp 192 milyar rupiah. Pemerintah dalam hal ini hanya menyediakan anggaran untuk kegiatan pengawasan pemusnahan 48 juta ekor DOC selama kurun waktu dua bulan tersebut. Dua program itu didedikasikan untuk kepentingan peternak kecil.
Mengherankan memang dan sekaligus mengejutkan. Selama 72 tahun Indonesia merdeka, puluhan trilyun rupiah anggaran negara telah dikuras untuk pembangunan peternakan sapi di Indonesia tetapi sampai 2017 masih berstatus “kekurangan populasi sapi dan dagingnya”. Impor daging kerbau dari India hingga saat ini merupakan salah satu cara pemerintah menurunkan harga daging walaupun ternyata tidak turun harganya.
Sebaliknya sejak Indonesia merdeka sampai hari ini, bisa dikatakan hampir tidak ada anggaran negara digunakan untuk pembangunan peternakan ayam ras pedaging tetapi sampai 2017 berstatus “kebanyakan populasi ayam” sehingga harga ayam hidup lebih murah dari harga pokok produksi.
Potret bisnis peternakan pada sapi dan ayam pada 2017 juga makin kelam ketika KPPU (Komite Pengawas Persaingan Usaha) menuduh belasan perusahaan penggemukan sapi dan belasan perusahaan pembibitan ayam melakukan praktek kartel dengan denda rata-rata milyaran rupiah per perusahaan. Hingga saat ini para pemilik perusahaan masih melakukan upaya banding dan berita terkini memastikan bahwa pengadilan negeri menganulir keputusan KPPU, sehingga perusahaan pembibitan ayam tidak melakukan praktek kartel.
Kisruh tentang tuduhan KPPU tersebut merupakan rentetan kejadian intervensi pemerintah yang berniat menata industri perunggasan dan persapian. Niatnya baik tetapi instansi pemerintah lainnya justru menghambat niat baik tersebut. Tampaknya tak ada konsolidasi yang baik diantara instansi pemerintah dalam menelurkan kebijakan. Pada unggas, kesepakatan untuk afkir dini ayam indukan atas perintah Direktur Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian (Kementan), dianggap kegiatan bernuansa kartel. Untung tuduhan itu dibatalkan pengadilan negeri. Demikian juga pada sapi penggemukan, kegiatan menggemukkan sapi agar mencapai bobot badan siap potong dianggap kegiatan penimbunan barang. Akibatnya, impor sapi bakalan dikurangi yang justru membuat lonjakan harga daging.

Kebijakan

Apakah keterlibatan pemerintah secara praktis sebagai aktor pembangunan sebagaimana dicontohkan pada komoditas sapi justru menghambat lajunya pertumbuhan usaha dan industri peternakan itu sendiri? Terlepas benar atau tidak pandangan tersebut, potret suram di dua komoditas tersebut harus dapat dijadikan pelajaran berharga untuk membangun industri peternakan di Indonesia secara lebih baik mulai 2018 mendatang.

Pengalaman tahun 2017 pada industri sapi maupun ayam mengajarkan kepada kita semua bahwa peran pemerintah amat sangat signifikan. Pemerintah dalam hal ini bukan hanya Kementan saja, tetapi termasuk kementerian lain yang terkait. Namun demikian, sangat disayangkan bahwa peran pemerintah yang signifikan tersebut bukan untuk menciptakan suasana kondusif dalam usaha peternakan tetapi justru sebaliknya. Walaupun pemerintah selalu menggunakan dalih membela peternak rakyat, faktanya kondisi peternak rakyat makin terpuruk di 2017 ini.

Ijin impor dan penentuan kuota bahan baku pakan atau bibit ayam yang diimpor merupakan kewenangan pemerintah pusat. Rekomendasi teknis termasuk penentuan kuota diberikan dari Kementerian Pertanian dan ijin untuk pelaksanaan impor diterbitkan dari Kementerian Perdagangan (Kemendag). Tanpa rekomendasi teknis dari Kementan, ijin dari Kemendag tak akan diterbitkan. Tanpa ijin Kemendag, impor tak dapat dilakukan. Padahal masih banyak kebutuhan input produksi dalam bisnis peternakan tergantung impor.
Dengan kewenangan pemerintah yang besar ini, semua kebijakan pemerintah harus diarahkan untuk mewujudkan suasana kondusif bagi semua pelaku usaha terutama peternak kecil. Pemahaman tentang rencana bisnis mulai dari kuota barang yang diimpor, negosiasi dengan eksportir, distribusi kepada para pelanggan dan lain-lain masalah teknis menjadi sangat penting sebelum menelurkan suatu kebijakan. Jadi ada makna “melayani” dari pemerintah kepada pengusaha dalam menjalankan bisnisnya untuk memenuhi kebutuhan masyarakat luas. Namun demikian, bukan berarti pemerintah harus mengikuti kehendak para pengusaha sesuai rancangan bisnis yang dibuatnya.
Dalam industri ayam ras pedaging misalnya, pemerintah dapat mengendalikan populasi ayam yang sudah berlebih populasinya dengan membuat National Replacement Stock(NRC) terhadap kebutuhan ayam bibit Grand Parent Stock (GPS) yang hanya diimpor oleh 13 perusahaan saja. Melalui komunikasi yang baik antara tim independen, perusahaan importir dan pemerintah, penentuan kuota impor masing-masing perusahaan dan waktu impor dapat dikalkulasi secara lebih tepat sesuai kebutuhan masyarakat.
Tiap minggu membunuh DOC yang baru menetas atau memusnahkan telur siap menetas karena kebanyakan populasi ayam ras merupakan pekerjaan yang menyedihkan sebenarnya. Bagaimana tidak, asupan telur di Indonesia masih rendah tetapi di sisi lain, jutaan telur dimusnahkan. Tapi hal itu jauh lebih baik daripada membiarkan ayam dewasa melimpah dengan harga jual di bawah harga pokok produksi.

Regulasi
Banyak regulasi dibuat dan bahkan Undang Undang No.18/2009 memberi banyak amanah kepada pemerintah untuk mengatur industri dan bisnis di bidang peternakan dan kesehatan hewan. Peraturan pemerintah dan peraturan menteri telah banyak diterbitkan tetapi seringkali berhenti di meja atau tersimpan rapi di lemari.
Regulasi dalam bentuk peraturan menteri untuk mengurangi 6 juta telur fertil per minggu ternyata tidak dibarengi dengan ketersediaan anggaran pengawasan pelaksanaan pengurangan telur sebanyak itu. Birokrat juga mengeluh dan sebenarnya malu karena kedodoran dalam melakukan pengawasan akibat ketidaksiapan anggaran.
Pengalaman satu tahun di pemerintahan mengajarkan kepada penulis bahwa di Ditjen PKH perlu menyediakan anggaran lebih besar untuk “mengendalikan” industri perunggasan yang tampaknya sudah tidak sehat persaingannya. Selama ini, pemerintah hampir tidak mengalokasikan dana pembangunan untuk ayam ras pedaging/petelur, karena dianggap sudah mandiri dan maju. Dengan adanya anggaran yang cukup untuk melakukan pengendalian diharapkan pemerintah bisa lebih berperan dalam menata industri perunggasan yang ujungnya dapat meningkatan kesejahteraan peternak.
Saat ini peternak mandiri berskala menengah ke bawah makin berkurang dan bisa-bisa habis sebagai akibat terjadinya perang bisnis antar pelaku usaha kelas kakap. Ini sangat membahayakan jika kondisi persaingan tidak sehat terus terjadi dan tidak dikendalikan karena bisa menimbulkan kerawanan sosial yang lebih besar di Indonesia.

Penganggaran
Suatu kebijakan yang amat sangat tidak tepat jika pemerintah mengalokasikan anggaran sangat banyak satu komoditas ternak tertentu dan sedikit atau bahkan tidak ada untuk komoditas ternak lainnya. Lebih tidak tepat lagi apabila anggaran tersebut digunakan oleh pemerintah untuk terlibat langsung urusan teknis budidaya. Makin tidak tepat lagi apabila anggaran tersebut hanya sekedar untuk beli ternak yang kemudian dibagikan ke masyarakat.
Boleh saja pemerintah bagi-bagi sapi kepada masyarakat kurang mampu sebagai bentuk bantuan untuk mulai usaha beternak. Namun demikian, karena ini berupa bantuan, kegiatan bagi-bagi sapi jangan dibebankan ke Kementan, tetapi sebaiknya ke Kementerian Sosial. Anggaran di Kementan harus benar-benar untuk peningkatan profesionalitas peternak, penguatan fasilitas dan peningkatan daya saing usaha peternakan, khususnya peternakan rakyat.
Pada dasarnya pengembangan peternakan dilakukan oleh dua kelompok besar yaitu Pelaku Usaha Skala Kecil (PUSK) dan Perusahaan Besar (PB).  PUSK berlaku untuk semua komoditas ternak, sedangkan PB masih terbatas pada industri ayam ras, penggemukan sapi dan kombinasi pembiakan/penggemukan babi. Baik bagi PUSK maupun PB, pemerintah wajib mengalokasikan anggaran yang cukup dan tepat sasaran.
Anggaran pemerintah untuk PB lebih dimaksudkan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan agar industrinya tertata, memberikan manfaat bagi masyarakat dan memperluas ketersediaan lapangan pekerjaan. Ini penting untuk stabilitas sosial ekonomi dan politik bangsa Indonesia. Misalnya, di industri perunggasan khususnya pembibitan, hanya ada 14 PB pembibitan ayam, begitu juga belasan PB sapi. Jumlah yang sangat sedikit bagi pemerintah untuk mengalokasikan anggaran untuk pembinaan dan pengawasan, tetapi akan berdampak sangat besar bagi bangsa.  Hingga 2017 ini, tidak ada anggaran seperti dimaksud.
Anggaran Kementan untuk PUSK disediakan dengan syarat dan ketentuan, seperti: 1) PUSK harus kolektif berjamaah dengan jumlah minimal tertentu yang bisa dikelola seperti PB. Untuk sapi, minimal 1.000 ekor indukan, sedangkan untuk kambing domba minimal 5.000-7.000 ekor, ayam pedaging minimal 350 ribu ekor per minggu. 2) PUSK yang bersedia berjamaah harus berpengalaman beternak dan sudah punya ternak, bukan peternak jadi-jadian yang hanya ingin memperoleh pembagian ternak dari pemerintah. 3) Tidak ada anggaran untuk beli ternak tetapi mungkin bisa untuk membeli pejantan unggul. 4) Subsidi harus dalam bentuk penguatan kapasitas usaha seperti pembangunan gudang pakan, renovasi kandang komunal, penyediaan fasilitas air, atau pembangunan pagar untuk pembuatan paddock di padang penggembalaan di daerah yang memliki lahan dan lain lain yang diperlukan PUSK agar dapat dikelola seperti PB.
Jadi, pemerintah harus benar-benar menjalankan peran dan fungsinya sebagairegulator dan stimulator saja. Selebihnya percayakan kepada para pelaku usaha. Yang terpenting dari sisi pemerintah adalah, bahwa para birokrat harus lebih luas wawasannya, lebih tahu permasalahannya, lebih paham penguasaan aturan mainnya daripada PUSK dan PB, jangan sebaliknya. Dengan peran seperti itu, pemerintah hanya memerlukan anggaran sedikit tetapi kewibawaan pemerintah terjaga. Para pelaku usaha juga merasa diayomi dalam rangka berpartisipasi membangun bangsa Indonesia di bidang ekonomi. ***

Prof Muladno Basar
Guru Besar Genetika dan Pemuliaan Ternak IPB
Anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI)
Pendiri Yayasan Pengembangan Peternakan Indonesia (YAPPI)

Artikel Terkait


EmoticonEmoticon